SMK BOPKRI WATES, 26 September 2016
SOSIALISASI HIV/AIDS
DARI PUSKESMAS WATES
Di
jaman yang serba transparan dan bebas ini. Semakin banyak ketidakmungkinan yang
bisa dilakukan. Kebiasaan-kebiasaan, peraturan-peraturan bahkan norma-norma
yang dulu diciptakan pendahulu kita untuk kebaikan hidup mereka bersama,
sekarang semakin kabur. Semua serba bebas. Tentu saja ada positif dan
negatifnya. Selama batasan-batasan yang dilanggar bersifat positif, itu masih
baik-baik saja. Lalu bagaimana tentang batasan moral?
Pacaran misalnya. Pacaran, ya, yang wajar-wajar saja. Tidak perlu kemana-mana harus bareng-bareng, nggak semua yang dipakai harus sama (masa cowok harus pakai rok juga? Oke, lupakan!), nggak perlu juga mengumbar kemesraan di mana-mana. Ingat! Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya, bangsa yang nilai moralnya dijunjung tinggi-tinggi. Bangsa yang menjadikan pendidikan karakter menjadi bagian dalam kurikulum di sekolah. Jadi, kalau kita melanggar norma susila sedikit saja, pasti sudah jadi bahan pembicaraan oleh para orang tua. Dan itu jelas berpengaruh dengan kehidupan sosial kerabat, keluarga, dan pastinya diri sendiri.
Pentingnya pengetahuan tentang HIV/AIDS ini sudah menjadi program kerja pemerintah setiap tahunnya. Berbagai kegiatan untuk megedukasi masyarakat tentang pentingnya mencegah penularan HIV/AIDS yang semakin bertambah angkanya setiap tahun terus dilakukan. Seperti hari ini, siswa-siswi SMK BOPKRI Wates mendapat kesempatan untuk mendapat sosialisasi tentang HIV/AIDS dari Puskesmas Wates.
Pacaran misalnya. Pacaran, ya, yang wajar-wajar saja. Tidak perlu kemana-mana harus bareng-bareng, nggak semua yang dipakai harus sama (masa cowok harus pakai rok juga? Oke, lupakan!), nggak perlu juga mengumbar kemesraan di mana-mana. Ingat! Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya, bangsa yang nilai moralnya dijunjung tinggi-tinggi. Bangsa yang menjadikan pendidikan karakter menjadi bagian dalam kurikulum di sekolah. Jadi, kalau kita melanggar norma susila sedikit saja, pasti sudah jadi bahan pembicaraan oleh para orang tua. Dan itu jelas berpengaruh dengan kehidupan sosial kerabat, keluarga, dan pastinya diri sendiri.
Sebut
saja seks bebas yang menurut data kementerian menunjukkan angka yang semakin
bertambah setiap tahunnya. Akibatnya, ya, memang pada akhirnya mereka sendiri
yang akan menanggung. Mulai dari masalah psikologis mereka sendiri, kehidupan
sosial mereka, bahkan yang paling fatal adalah kesehatan mereka. Seks bebas
membawa peluang besar bagi mereka untuk tertular penyakit HIV/AIDS, yang sampai
detik ini belum ada yang bisa menemukan cara untuk mengatasinya, tapi jumlah
penderitanya semakin banyak.
Seperti
yang disampaikan oleh narasumber dari Puskesmas Wates dalam acara sosialisasi
HIV/AIDS untuk remaja, HIV adalah singkatan dari Human Immuno Deficiency, sebuah virus yang menyerang sistim imun
dalam tubuh manusia. Sementara AIDS (Aquired
Immune Deficiency Syndrome), merupakan kumpulan gejala penyakit sebagai akibat
menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh HIV. HIV bukan penyakit keturunan. HIV
hanya bisa ditularkan. Melalui apa? Penularannya bisa melalui darah, cairan
sperma maupun vagina, juga air susu ibu. Caranya? Yaitu dengan jarum suntik
yang tidak sekali pakai (yang tentu saja kebersihannya kurang diperhatikan), jarum
tatoo yang lagi-lagi kebersihannya kurang diperhatikan, ASI dari seorang ibu
yang positif HIV, dan hubungan seks yang berganti-ganti pasangan.Pentingnya pengetahuan tentang HIV/AIDS ini sudah menjadi program kerja pemerintah setiap tahunnya. Berbagai kegiatan untuk megedukasi masyarakat tentang pentingnya mencegah penularan HIV/AIDS yang semakin bertambah angkanya setiap tahun terus dilakukan. Seperti hari ini, siswa-siswi SMK BOPKRI Wates mendapat kesempatan untuk mendapat sosialisasi tentang HIV/AIDS dari Puskesmas Wates.
Meskipun dalam
kenyataannya sebagian besar dari mereka mungkin sudah lebih dari sekali
mengikuti sosialisasi semacam ini. Tapi, kegiatan ini memang harus
sering-sering dilakukan. Terutama untuk menekan angka kasus penularan HIV/AIDS
yang semakin bertambah setiap tahunnya. Tapi tentu saja, di samping penyuluhan
semacam ini, faktor lingkungan seperti bimbingan keluarga, pengawasan guru dan
pergaulan anak itu sendiri juga harus diperhatikan. Mungkin bukan dengan
melarang mereka untuk menjauhi penderita atau semacamnya. Bukan dengan menjauhi
penderita, tapi jauhi tindakan-tindakan yang memicu resiko penularan. Seperti seks
sebelum menikah, hindari menggunakan tatto, dan perhatikan juga kebersihan
alat-alat medis yang mungkin kebersihannya belum seratus persen setelah
digunakan pada penderita.
Pada akhirnya,
semoga edukasi tentang penyakit HIV/AIDS ini tidak hanya menjadi “angin lalu” bagi para siswa, tapi
mereka benar-benar memahami dan tau apa yang harus mereka lakukan. Bagaimana mereka
menyikapi batasan-batasan mereka di usia ini. Amin.
Comments
Post a Comment